Saya dilahirkan dan dibesarkan di desa yang mayoritas masyarakatnyah merupakan warga Muhammadiyah. Sehingga lembaga-lembaga pendidikan yang ada merupakan lembaga pendidikan yang dikelola oleh Muhammadiyah. Mulai dari PAUD hingga SMA sederajat. Namun meskipun demikian, tetap ada lembaga pendidikan yang dikelola oleh warga NU dan pemerintah (sekolah negeri)


Sebagian keluarga besar saya merupakan warga Muhammadiyah, namun sebagian lainnya mengaku netral. Oleh karena itu, saya mengawali pendidikan tingkat PAUD di TK Aisyiyah Bustanul Athfal yang berada di desa saya sendiri selama 3 tahun. Seperti balita pada umumnya, saya selalu riang gembira melakukan rutinitas sekolah setiap harinya. Namun yang membedakan antara saya dan teman-teman adalah saya tidak pernah diantar oleh orang tua saya sejak mulai menginjak TK A. Sehingga kebiasaan mandiri tersebut tetap saya miliki hingga detik ini. Suatu kebanggaan yang saya rasakan di tingkat ini adalah berhasil menjadi juara 1 lomba adzan, meskipun hanya tingkat PAUD sedesa.


Pada tahun 2008, saya lulus TK lalu melanjutkan ke tingkat sekolah dasar. Saya dan orangtua memutuskan untuk melanjutkan di sekolah negeri dan bukan lagi di sekolah swasta, agar tidak menimbulkan persepsi orang bahwa keluarga kami orang Muhammadiyah. 6 tahun saya menimba ilmu di SDN 1 Weru. Dan disinilah kendala-kendala sulit sebagai penyandang disabilitas mulai saya alami. Mulai dari sulitnya dalam menangkap penjelasan guru, melihat papan tulis, hingga kekurangan waktu dalam ujian karena kesulitan membaca. Namun semua itu tidak menjadi penghalang bagi saya untuk tetap semangat belajar dan berusaha meyakinkan diri bahwa saya bisa seperti mereka (orang normal).


Semua kendala yang saya alami tidak akan pernah saya jadikan alasan untuk menyerah. Alhasil semua perjuangan itu Alhamdulillah tidak sia-sia. Saya berhasil melewati masa-masa sulit di tingkat ini dan lulus tepat waktu, selama 6 tahun. Tentu yang lebih membanggakan lagi saya mendapat banyak apresiasi dari guru-guru, karena dengan keadaan saya seperti ini bisa bersaing bahkan nilai dan peringkat saya tidak pernah buruk. Saya selalu bersyukur, karena semua ini tak lepas dari kehendak Allah SWT.


Pada jenjang pendidikan selanjutnya, orang tua saya memutuskan agar saya belajar di pondok pesantren. Ini menjadi tantangan terbesar saya karena harus jauh dari orang tua dengan keadaan yang benar-benar membutuhkan orang lain. Namun meskipun demikian saya tidak akan pernah putus semangat. Saya membulatkan tekad untuk mondok di pondok pesantren Al-ishlah Sendangagung. Sebuah pondok modern yang cukup terkenal di kabupaten saya maupun di pelosok nusantara. Pesantren ini sangat ketat dan super disiplin. Karena semua pendiri dan pengajarnya merupakan alumni pondok pesantren modern Darussalam Gontor, yang bisa dikatakan ini adalah pesantren alumni Gontor. Semua yang ada di pesantren ini di-setting semirip mungkin dengan pondok Gontor. Mulai dari bahasa sehari-hari (arab & Inggris), kurikulum pendidikan, hingga peraturan-peraturan yang ada. Semua di bentuk sedemikian rupa agar mampu melahirkan alumni-alumninya yang sukses seperti alumni-alumni pondok Gontor.


Selama 6 tahun saya menimba ilmu di pondok tersebut. Sembari berguru pada kyai, saya juga bersekolah formal yang ada di dalamnya. Giat belajar ilmu umum namun tetap tidak melupakan ilmu agama. Tetap mengikuti ujian nasional tapi bukan berarti tidak ada ujian membaca kitab. Semuanya seakan-akan dinamis dan tidak pernah berbenturan.


Di masa-masa inilah saya memiliki banyak cerita yang berkesan dan tak pernah bisa dilupakan. 


Semua yang saya lakukan tidak sesuai dengan persepsi yang saya perkirakan. Saya meninggalkan keluarga di rumah tapi memiliki keluarga baru di sana. Tidak lagi orang tua yang membantu saya dalam mobilisasi dan aktivitas lainnya karena ternyata di sana juga banyak sekali orang yang berempati kepada saya dan selalu membimbing dan membantu kesulitan kesulitan saya. Mulai dari para santri hingga civitas akademik yaitu guru guru dan kepala sekolah. Keprihatinan mereka selalu membuat Saya terharu ketika mengingat, bahkan saat menuliskan cerita ini.


Meskipun di masa ini termasuk masa-masa yang saya rasa berat, namun semuanya terasa ringan atas kehadiran mereka. Karena keadaan mata saya semakin memburuk sedangkan tingkat pendidikan yang harus saya tempuh semakin tinggi. Selalu ada motivasi disaat saya ingin menyerah. Seperti saat ujian nasionalpun ada seorang guru yang bersedia mendampingi saya, yang hanya tidak ingin melihat saya putus asa, bahkan ia rela menawarkan matanya untuk didonorkan kepada saya. Tentu jasa-jasa tersebut tidak akan pernah mampu terbalaskan. Cara satu-satunya adalah saya harus bisa membanggakan mereka, yaitu dengan berhasil lulus dengan nilai yang tidak memalukan. Alhamdulillah Tuhan mengabulkannya dan saya berhasil membanggakannya.


Perjuangan saya tidak berhenti sampai di sana. Dengan keadaan mata yang lebih buruk dari sebelumnya justru semangat saya untuk mencapai cita-cita semakin membara. 

Pada awalnya saya minder apakah saya bisa melanjutkan studi dengan penglihatan yang tersisa 5% saja. Tapi ingatan-ingatan masa lalu itulah yang memotivasi saya untuk terus maju. Toh, orang-orang sukses di luar sana kebanyakan orang yang memiliki kekurangan dan keterbatasan. Cita-cita saya adalah seorang sastrawan maka Saya berasumsi untuk kuliah jurusan sastra. Namun tuhan menakdirkan lain. Saya justru diterima di UIN Sunan Ampel Surabaya di program studi yang saat ini saya jalani. Saya yakin apa yang saya pilih belum tentu yang terbaik untuk saya, tapi kehendak tuhan sudah pasti terbaik bagi saya. 


Banyak kendala-kendala yang saya alami disini. Dan masa-masa inilah yang menjadi masa-masa paling menyebalkan di hidup saya. Bagaimana tidak, semakin tahun penglihatan saya semakin berkurang, dan dibalik itu saya harus menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen. Dan yang saya rasakan, sangat sulit untuk meminta keringanan atau dispensasi. Jangankan dispensasi, menghubunginya pun sangat sulit sekali, dan sebagian besar tidak pernah mau berempati pada mahasiswanya dan tidak mau melihat kondisi mahasiswanya satu persatu. Sehingga saya harus berjuang sendiri.


Selain itu kuliah merupakan salah satu cara untuk mencari relasi atau jaringan saat berkarir nanti. Namun saya sangat terkendala oleh ini, karena banyak sekali teman saya yang menjauhi dan tidak mau mendekati. Seakan-akan Saya tidak pantas untuk menjadi temannya. Mungkin hal itu timbul karena saat mereka menyapa saya di jalan, saya tidak bisa balas menyapa. Jangankan membalas untuk menyapa, mengenali siapa yang menyapa saja saya tidak mampu. Namun Setidaknya saya masih bersyukur, karena masih ada beberapa orang yang mau berempati pada saya. Meskipun dari UKM dan organisasi yang saya ikuti.


Harapan saya kedepannya, saya akan tetap menuntut ilmu setinggi-tingginya dan mencapai cita-cita meskipun nantinya mata saya benar-benar buta.